Minggu, 20 Mei 2012

Shal Biru, penyambut Deru Cintaku

Tergesa-gesa aku merapikan ruangan yang sedari malam tak begitu tertata itu, ulah si kecil kesayanganku yang ingin diantar tidur dalam permainan bersama Mak Icah, pembantuku. Tak lebih dari satu jam semalam tadi seselesainya kita muroja’ah hafalan Juz 30 bersama Keysha, aku merebahkan tubuh di shofa dekat dengan TV yang meramaikan malam namun tetap terkalahkn dengan celoteh Keysha bersama Mak Icah yang terus mengacak-acak boneka itu. Fiuhhh.. pagi ini masih dapat kuatasi, Alhamdulillah ruangan ini sepertinya telah rapi seperti semula. “eitsss..eits… mau apa, sayang? Kamu gak boleh mengangkat barang berat ini.” Dari balik badan suamiku meraih kedua tangan yang hendak menggeser-geser kursi yang tidak pada tempatnya. Genggaman segar pagi itu, kubalas senyuman ramah menyaingi mentari. “tidak apa, Abi. Biarkan Umi membereskan ya? Kasihan Mak Icah amat kelelahan menemani Keysha semalaman.” “tidak begitu juga, Mi. Biar Abi yang membereskan ya? Umi tunggu saja di meja makan, kita kan sarapan bersama.” “Baiklah..” dengan sangat berhati-hati aku meraba setiap benda sekitar agar segera dapat kudatangi meja itu. Ya, sudah hafal memang semua lokasi di rumah baru ini, namun terkadang masih tercium dinding-dinding yang bertengger di muka. “Pagi, Ummi… Aku susah dibangunkan ya untuk tahajud?” Keysha segera menempati kursinya di ruang makan setelah mengecup pipi kananku. “Iya, Nak. Umi juga tidak tega untuk memaksamu, kau begitu pulas dan kelelahan.” “Dua biadadari Abi menyaingi indahnya merekah bunga di pekarangan depan nih.” Suamiku segera menyantap sarapan yang telah kusediakan. Segar tuturnya tak pernah buatku jengah, meski itu-itu saja. Tapi tiada lagi yang dapat kusangkal nikmat Mu ya Rabb, aku sangat bahagia setiap hari di rumah mungil ini. Seselesainya sarapan, rumah pun kembali sepi hingga sore hari. Suamiku berangkat ke tempat kerjanya, sedangkan Keysha bersekolah dan mengaji hingga petang. Kuraih hakpen beserta benang wol untuk memulai hobiku merajut setelah menunaikan shalat Dhuha dan tadarus. Sudah satu minggu ini aku menekuni keterampilan ini dengan harapan aku dapat membuat Shal untuk suamiku di hari ulang tahunnya dua minggu lagi. Dengan tekun aku mempelajari, merajut, menyentuh hati-hati, agar dalam keterbasan peglihatanku ini aku masih dapat memberikan hadiah yng berkesan untuk cintaku. Ditemani lantunan murattal, aku masih dapat bertahan hingga pukul satu siang. Sesekali Mak Icah mengingatkanku untuk beristirahat sejenak, namun hatiku selalu menolak enggan meski kelopak mata sudah tak tahan menahan berat. Akhirnya, menjelang setengah jam menuju adzan ashar tak terasa kuterlelap di shofa ruang tamu dengan benang yang masih tergenggam di tangan. Mak Icah membalutkan selimut di setengah tubuhku agar tak kedinginan. Sungguh alam yang teramat indah, lengan ini tak luput dari genggaman, tubuhku tak luput dari dekapan hangat suamiku. Teramat tampan, hingga tiada kudapati jengah meski beribu jam aku menatap tiada kedip. Aku diajak menari-nari di belantara rerumput dan bunga-bunga yang berselimutkan kabut sejuk, bermain dengan ikan mungil merah di dasar pertemuan air terjun dan pasangan serasinya, telaga jernih. “Aku baru melihat keindahan alam yang sesungguhnya, Abi. Slama ini hanya utopia dan illusi saja yang Umi dapat tampakkan.” Suamiku membalas dengan senyum yang tiada tandingan indahnya, bahkan suasana tempat kami waktu itu. “Umi, Abi tak akan selamanya dapat berada dalam rangkulan Umi. Abi akan pergi..” Terksiap. Aku tak faham dengan apa yang baru saja suamiku utarakan. Dengan cepat aku meraih tangannya dan menatapnya lekat. Suamiku melanjutkan, “Abi harus pergi..” Bulirr airmata ini menderas di luar kesadaranku, degup jantung pun seketika tak dapat kurasakan lagi. Allahu akbar allahu akbar, “Ibu, adzan ashar.” Mak Icah membangunkanku. “Astaghfirullah….” Desahku sembari beranjak dari shofa, ini hanya mimpi, Abi tidak mungkin meninggalkanku seketika. Kembali lagi ya Allah, mataku masih belum dapat menikmati pemandangan realita, Alhamdulillah tadi kau beri keempatan kepadaku untuk memandangi alam dan, suamiku mungkin. Dalam untaian doa, aku berdesah menahan pilu jika mimpi tadi benar-benar sebuah isyarat akan sesuatu yang sangat tidak aku ingini. “Jika memang Kau akan memisahkan kami, maka ridhailah perpisahan kami dalam jalan yang ikhlas dan sanggup kuterima…” sebagian rentetan doaku sore itu. Sudah Pukul Sembilan malam, suamiku belum juga datang. Resah mulai merajai asa, gelisah, kupasang pendengaranku dengan seksama terhadap deru suara mobil yang suamiku kendarai. Tapi, tetap tak kunjung datang. Ya Allah… selamatkan dia dalam perjalanannya. Tak lama, kuterima sebuah telpon dari handphone-ku, dengan percakapan pendek, “sayang.. maaf aku tidak bias pulang malam ini, ada meeting penting mendadak. Kamu lekas istirahat dan jangan kuatirkan aku.” Tak sempat aku diberi kesempatan untuk menanggapi, percakapn itu segera terputus. Mungkin suamiku sangat sibuk, dengan segenap tenaga aku beruaha husnudzon dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Dalam gusar aku terbaring, dengan doa aku harus memaksakan untuk tidur, meski masih tetap gusar. Subhanallah.. aku terbangun kesiangan. Ini sudah pukul 5 pagi, dan aku belum shalat subuh. Segera aku beranjak dari tempat tidur seraya memohon ampun atas kelalaianku terlambat menghadapMu ya Rabb. Sempat dahi ini menabrak tembok toilet, langsung aku bersimpuh dalam khusyuk. Seselesainya shalat, wirid, dan membaca Al-Qur’an braile, aku berdiri untuk meletakkan kitab sicuku di atas meja. Ada benda asing yang kusentuh, kuraih, sebuah recorder. “Apa ini?” Kebinginganku, segrera ku pencet dan terdengar suara, suamiku. Adinda Zahara..Terima kasih tiada tara kusanjungkan untuk kau yang 10 tahun ini telah mampu membangun cinta denganku. Kuakui, kukagumi, kau begitu berharga sebagai seorang Ibu untuk mendidik Keysha dengan keterbatasan yang kau miliki. Kau teramat tegar untuk melawan deras ujian yang kau lalui. Keshalihahanmu pun selalu buatku takjub, kau luar biasa. Namun, Kesabaranku ternyata tak sekuat yang aku kira. Keinginanku tidak dapat kubendung lagi utnuk bersanding dengan seseorang yang sangat aku ingini. Kuakui, dua tahun terakhir ini aku menjalin hubungan dengan kolega perempuanku di kantor. Dan, kami sudah sangat saling mencintai. Bahkan melebihi cintaku padamu. Kupikir hubungan ini hanya sesaat, namun ternyata tidak. Aku malah semakin terbuai dengan dia dan ingin meminangnya segera. Maafkan aku lancang memutus hubungan suci ini denganmu. Aku kurang sabar menghadapi kekurangan yang kau milki. Meski terus aku coba untuk bertahan, ternyata nihil. Aku tak sabar denganmu. Aku tak siap harus saling pandang searah denganmu. Tapi aku janji, Keysha akan rutin aku jenguk dan sesekali membawanya bermain. Biaya hidupnya semua akan aku tanggung. Semoga kau tabah menerima ini, dan semoga kau dapat menemukan pendamping yang lebih dapat menerima kau seutuhnya dan seluruhnya. Wassalamu’alaikum… Lafadz salam itu mengakhiri suara yang sangat kurindukan. Nafasku tersendat, otot tubuhku semua melemas, hilang kendali. Tubuhku tersungkur di lantai, hingga tak sadarkan diri dengan wajah berlinangan air mata yang tak bisa lagi kubendung. “Nak, kau sudah sadarkan diri?” suara yang tak asing membangunkan istirahat lamaku di ruang serba putih ini, Ibuku. “Ibu…” Tanganku segera meraih belaian hangat di kepalaku. “Ibu mengerti, nak. Kau yang tabah.. Ibu tau kau lebih dari setegar karang. Allah pasti akan mendatangkan yang terbaik untukmu.” Bulir air membasahi pipiku lagi hingga aku ditenangkan dengan dekapan Ibu dan Ayahku yang tetap menggenggam tanganku. “Keysha mana, Ma?” “Anak itu sangat sholehah ya. Dia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun dia tetap ceria dan tegar menghadapinya. Tuh sekarang sedang bermain sama Mak Icah di depan ruanganmu. Anakmu mirip sekali denganmu.” Alhamdulilah, aku tau aku pasti kuat Ya Allah. Mungkin A Fakhri tak lebih baik untukku dan Keysha meski dia adalah darah dagingnya sendiri. Ini adalah suratan dariMu, dan harus aku ikhlaskan sebagai bentuk keta’atanku kepada Mu. Semoga ket’atanku juga selama ini kepada A Fakhri sesuai dengan apa yang Kau perintahkan, aku ikhlas. Ikhlas dalam pengabdianku kepada suami, ikhlas dalam keta’atanku menuju ridha Mu bersama suami, dan ikhlas menerima apa pun yang menjadi goresan takdir Mu. Aku akan slalu turut dalam titahMu, semua yang ada adalah milikmu Ya Rabb. Dalam keceriaan bersama Keysha dan Mak Icah, celoteh anak itu semakin buatku kuat. Tiada waktu untukku harus berputus asa, justru Keysha yang senantiasa menghiburku yang mulai memasuki gerbang kenestapaan. Di pagi Ahad ini, aku dan Keysha berceloteh ria sembari memain-mainkan pistol air di halaman rumah kami. Anak itu sangat lihai untuk menembakku dengan air, hingga kurasakan sebagian besar kerudungku sudah kuyup dengan air. Mak Icah yang menyaksikan kebahagiaan kami turut berbahagia, dia menyiapkan kami cemilan dan minuman segar sebagai hidangan istarahat bagi pasukan yang sudah berperang, aku dan anakku. “Assalamu’alaikum, Keysha…. Kok Umi mu basah kuyup begitu, sayang?” tanpa disangka ayahku datang mengecup pipi Keysha bersama seseorang, yang… “Zahara, ayah datang ke sini ada suatu maksud. Lekaslah kau ganti pakaianmu yang basah itu, ayah tunggu kamu di ruang tamu.” Aku mengernyitkan dahi, heran dan penasaran dengan maksud kedatangan ayahku ini. Dan, pria yang bersama ayah tadi siapa, sekonyong-konyong langsung so krab dengan Keysha. “Sudah ayah.” Aku segera duduk di shofa pinggir ayahku. Dan Keysha sedang asyik bercerita dengan pria tadi. “Ehm..ehm..” Curiga, perkataan yang dimulai dengan berdehem ini, buatku semakin keheranan.”Begini, Nak. Keysha masih sangat dini untuk menjadi seorang anak yang mandiri. Dan kau, ayah rasa kau sudah saatnya tidak sendiri lagi.” Hmmm, aku mulai memahami maksud ayah. “Perkenalkan, ini Robi, putra rekan kerja ayah di kantor dulu. Dia datang ke sini bermaksud untuk meminangmu.” Sungguh di luar sangkaanku. Belum satu tahun aku menjalani statusku sebagai single parent, kini ayah sudah merekomendasikan seseorang. Aku masih kaget, kecewa, dan takut,bahwa kisah yang pernah kuarungi akan terulang lagi. Mana ada lelaki normal yang akan menerima istri yang tuna netra ini, mana ada lelaki normal dan bujangan yang menginginkan janda seperti aku ini. Konflik batin mulai menghantui. “Assalamu’alaykum, Zahara. Langsung saja. Saya, Muhammad Rabbani Ghifari, dengan segala kekurangan yang saya miliki, saya berniat utnuk meminangmu. saya siap untuk beribadah melaksanakan titah Allah bersamamu dan Keysha, berburu syurga, bersama…” belum selesai Robi melanjutkan, aku menahan, “Tapi…” tak banyak aku diberi kesempatan berbicara dalam kegugupan, “saya sudah tahu semua dari ayahmu. Dan sama sekali tak ada sedikitpun dalam komposisi niatku ini untuk mencintaimu sebagian, atau bahkan menampik kekuranganmu. Ini murni karena Allah, saya siap dengan apa pun yang akan terjadi.” Sebuah keajaiban rahasia Allah yang membuatku terpaku dengan tangis haru, Keysha segera meraih tubuhku dan mencium keningku seraya berbisik, “Aku gak mau melihat Umi sendiri terus.” Ucapan gadisku ini semakin menambah keharuanku. Pemaparan Robi yang begitu meyakinkan, ayah yang tak berkomentar sedikitpun, serta si kecil Keysha yang semakin menambah kekuatanku untuk berkata, “Iya. Insyaallah, Mas Robi. Aku bersedia untuk menjadi pendampingmu hingga singgasana syurga kelak.” Seisi ruangan itu meanngis haru. Robi segera bersujud syukur setelah mendengar keputusanku. Mak Icah yang sedari tadi menguping di balik lemari pun menangis terisak-isak menyaksikan semuanya. Ya Allah, tak ada keraguan sedikitpun untuk keputusanku kali ini. Semoga ini sejalan dengan Ridho-mu. Aaaamiin. Shal biru ini sedikit lagi mencapai sempurna. Meski tak begitu bagus, namun ini dengan susah payah kau rajut. Setelah membangun cinta berama Mas Robi, menjelang tidur aku mengajaknya berbicara, “Mas, aku punya sesuatu.” Shal itu kusembunyikan di belakangku dahulu, “punya apa, sayang..” “Lihat ini.” Kuserahkan denag yakin dan bangga, “ini shal plus plus.” “Subhanalloh.. indah sekali. Kamu yang buat? Plus plus nya apa” terpancar kspresi bahagia dari raut muka suamiku, dan terheran dengan kata plus plusnya. Kusenderkan tubuhku di pundaknya, “Ini original hasil tanganku sndiri. Dan plus-plus nya adalah… eng-ing-eng…sepaket dengan kesungguhan, kerja jeras, ketulusan, dan cinta tiada tara untukmu, suamiku.” Malam itu teramat indah, mengalahkan lincah sinar gemintang memanjakan malam. Bersama imamku,aku lebih yakin, keindahan cinta teramat jelas kupandang, bukan dengan mata yang ini, namun dengan mata hatiku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar