Selasa, 01 Januari 2013

PERBINCANGAN LAIN FAKTA

Duduk sila, berhadapan,
Tak diundang kata kunci, mengunci hilir angin yang mencoba goyahkan

Spontan apa pun yang berterbangan di atmosfir

Datang dan pergi penuhi referensi

Dimulai saja, tak usah harus kaku begitu

Baiklah, aku dan kau, senantiasa apa adanya

Udara, terimalah ungkapan yang penuhi sesakku ini

Dia ekspresikan, tanpa hal seseurius persidangan

Kebahagiaan kabuti pagiku

Pertalian tanpa aturan, bagiku semuanya unik dan sah

Santailah, aku tidak sama, namun aku senantiasa jadi aktris pasif

Asap penuhi mulutnya, aku sentuh dengan kelembutan sebagai bukti kasih

Aku punya angan, sama sepertimu. Aku akan bahagia dengan dia, sosok yang senantiasa
mengayomi, meski harus selalu aku gebrak dahulu

Baiklah, dedaun pun mengangguk turut maklum, begitupun aku

Gelak tawa rendai lembaran kata, tajam mata lepas, bebas, puas

Giliran. tanah… sesakku hanya bisa kusimpan dahulu

Namun percayalah, aku baik saja, aku akan senantiasa baik dengan dentuman sikap seorang yang pekak di telinga kehidupan
Kamu percaya, aku sehebat bunga yang indahi jalan yang penuh kerikil

Peduliku, jaga anugerah Rabb yang luar biasa itu

Pedulikan esokmu, yang sudah kau rajut sejak saat ini

Begitulah sekitar lempar kata penghargaan dua pemilik mimpi

Terukir kokoh pada prasasti hidup yang senantiasa hidup

Udara, lihatlah ke luar rumahmu, kebesaran Tuhan indahi langit gempita malam ini

Cincin lingkari rembulan, maaf sengaja ku membuatmu bangun dari istirahatmu

Percakapan yang membenak hingga mengikat di telaga keindahan kepedulian

Darinya, yang kini tengah berjalan di tempat yang tidak lagi sama

Kuncilah perkara mulia di jagad yang telah kau lukis, sahabat tercinta

Aku juga akan ke sana menyeru gelak tawamu lagi,meski entah kapan

Kita sama-sama di sini, di tempat yang sama telah Tuhan siapkan



Inspired By :

Hasyri Habibah “Acy” (w. 28-12-12, 04.00 am)

Selamat jalan, kawan..

Rabu, 06 Juni 2012

aku yang kini, dengan harapan nanti

Ma.. aku sudah teramat sering menyadari, kini aku bukan bocah lugu lagi yang senantiasa merengek dan mudah berdiri ketika rapuh Pa.. pola pikirku juga bukan remaja narsis yang habis menyantap uangmu dengan euphoria tanpa peduli jerihmu Ya Rabb, jika Engkau tak meridloi fitrah ini untuk dia, hapuskalah, jauhkanalah, nalikkanlah, enyahkanlah beban yang menyeretku dalam langkah aku tau, teramat tau, tak lekang oleh mampu semudah itu? secepat itu? sesederhana itu? semudah demikian? secepat demikian? sesederhana demikian? melihat semua alamat , harusnya aku terpana, memahami, meresapi, melepaskan, jengaaaaahhh, dan pergi menjauh dari jeratan. KEPADA SEMUA PUN, DIA AKAN SELALU DEMIKIAN. so, hanya kata umpan, kata topeng, komitmen palsu, tawaran formalitas, keseriusan belaka, entah, sampai detik ini tak secuil pun yang dapat aku akui 'kedalaman' yang terlampau acap kali kau ungkap. TIADA!! semua kau pindahkan kepada orang asing yang baru kau kenal, kemudian kau undang, dan lumrah kau transferkan semua strategimu kepadanya. hanya kenangan usang yeng mengelabui fikirku, hanya keindahan semu yang teduhkan jiwau, hanya potret ang kuanggap berharga (namun tidak di kau) yang isi lamunanku. haiiiiiiii, aku di sini, untuk kamu! kuenyahkan semua signal baru, karena utakut, aku salah melangkah lebih dalam layaknya bersamamu kuhempas semua kebaruan, karena hatiku belum mampu. Ya Rabb, berilah petunjukMu. Niatku pergi, karena Mu.. karena kuingin (awalnya) dia sama sama bersimpuh dan berserah kepadamu, untuk kelak. namun, segalanya bak goresan putih yang hiasi piringan him lalu cepat terbawa iringan debu, dan pergi tanpa jejak di atas hitam itu. Ya Muqolliba Al-Qulub, kokohkan hatiku pada tali cinta Mu yang agung. hapuskanlah dia, jika dia tak akan pernah kembali.

Minggu, 20 Mei 2012

SEMANGAT IBU DALAM LINGKARAN CINTA

Malam gemercik hujan temani gerungan suara ibuku menahan nyeri di kepala, dan tak kuat melawan dingin. Segera, kutuangkan semua persediaan air panas ke dalam botol bening yang sudah bersahabat senantiasa temani ibu tidur, bahkan sedang tiduk tidur jua. Meringis, menangis, berteriak pelan menahan perih. Kugenggam tanganya yang mendingin karena cuaca, kuberikan dan kutempatkan botol berisi air panas itu di atas perutnya. “Bu.. harus dengan cara apa lagi aku mengundang kesehatanmu, mengundang keceriaanmu yang tiada tara itu.” Hatiku kerap berteriak membalas keluhan kesakitan ibuku. Setiap setelah adzan subuh, dalam langkah tergopoh Ibu berwudlu di luar tauku dan sudah kerap kudapati sudah terlentang dalam bacaan shalatnya di atas tempat tidur. Sesekali suara seraknya memanggil, “Nak.. airnya sudah mendingin, tolong kau gantikan dengan yang panas lagi ya.” Dengan anggukan dan menunduk penuh haru dan khawatir kutuangkan lagi air panas yang tak jarang mengenai kulit dan sedikit membuatku sakit. Kembali aku ke kamar, dalam doa aku meratap harap, Ibuku sayang dapat bugar dan kembali tegar seperti sedia kala, ibuku yang sejak ditinggal anak-anaknya berumahtangga dan merantau untuk bersekolah sering sekali terkulai lemah, dalam waktu yang tidak sedikit. Berbagai jalur pengobatan sudah kami tempuh, tak kenal jemu Ayah pun membawa kesana kemari, berhutang kesana kemari, menjual ini dan itu, untuk pengobtan yang dijalani Ibu. Namun alhasil, hingga saat ini stiap kali masalah berat menghadang, setiapkali tenaga Ibu diporsir untuk mengurusi anak-anak Panti bahkan untuk sekedar membantu acara tetangga, tak lama setelahnya dia akan kembali terkulai tak berdaya dengan desahan kesakitan yang dia lawan. Dalam posisiku yang sedang berjuang mencari ilmu nun jauh dari rumah keluargaku, hanya kudapati kabar via sms, “Sudah seminggu ini Ibu tak bisa ke dapur untuk memasak, Nak.” Sebagai balasan sms dariku untuk sekedar menanyakan kabar. Dalam nuansa kegembiraan bergurau dengan rekan seasrama aku terdiam dan merenung, menatapi kata-kata dalam sms yang Ibu kirimkan sembari berbagai bayangan dan kenangan bersamanya menguasai rasa dan pikiranku saat itu. Keluar, kutinggalkan asrama dan menatap langit di lorong lantai dua asrama kami, berharap langit akan menyampaikan kerinduan dan keinginanku untuk memeluk Ibu di sana, yag meronta menahan penyakit yang diderita. “Bu, jadi apa sebetulnya penyakit Ibu?” “Entahlah, Nak. Dokter yang ini mengatakan ini, yang lain beda lagi, pindah lagi dan memvonis beda lagi.” Jawabnya, gusar. Mungkin memang ini yang dikatakan psikosomatis. Iya, terlalu banyak yang harus Ibu urus dan pikirkan dalam kondisi yang memang bukan kemampuannya. ‘Sudah tuntutan sebagai seorang isteri tokoh masyarakat.’ Begitulah fatwa masyarakat menyaksikan kondisi Ibu. “Apalagi anak-anak teramat bandel dan mengesalkan, teh.” Ungkap bibiku, mengaitkan dengan kondisi anak panti di rumah. Ya Rabb, maafkan aku tidak bisa seintensif yang diharuskan untuk mendampingi hari-hari Ibuku, namun setiap rangkaian do’aku selalu kuprioritaskan untuk beliau, dan Ayahku. Tuhan baru kusadar Indah nikmat sehat itu Tak pandai aku bersyukur kini Kuharapkan cinta-Mu Lantunan Nasyid Edcoustic senantiasa mengantar dalam istirahatku, malam mini.. *** “kemari, Nak. Ibu sisir dulu rambutmu.” Di serambi rumah kami mempersiapkan diri sebelum berangkat berlibur ke Kebun Binatang Bandung. Bersama keluarga besar yang lain. Kemudian Ibu menghiasi rambut kecoklatanku dengan jepitan-jepitan kecil berwarna-warni, sedang aku asyik dengan mainan da permen di tangan. Dalam kegembiraan tiada tara, aku, Ibu, sepupu, bibi, semua segera menaiki mobil yang sudah bertengger dekat rumah. Hore! Akhirnya aku berlibur juga ke luar kota, ke kota yang sering disebut-sebut di TV itu . Awal perjalanan masih riuh dengan celotehan para anak dan keramaian para ibu yang mengobrol kesana kemari. Belum sempat setengah perjalanan, semua merasa lelah. Rambutku yang sudah tertata rapi pun teracak oleh gesekan dan ketidaknyamananku di atas jok, di atas pangkuan ibuku, karena sangat sedak dan terlalu banyak bawaan makanan untuk di sana. Wajah yang melusuh dan mencoklat terkena pantulan sinar matahari, namun ibuku tak kenal keluh dan lelah untuk terus memegang erat tubuhku di pangkuannya. Kala itu aku masih berstatus bungsu, adikku belum terlahir ke dunia ini, jadi wajarlah jika ibu benar-benar sangat memanjakanku. Setibanya di tempat tujuan, semua kelelahankarena tersedak di mobil menghilang. Aku berlari menyusuri jalanan bersama sepupu-sepupuku yang lain sembari menyapa setiap binatang yang kami temui. “Ibu….” Aku berlari dari jalanan yang lebih tinggi memeluk ibuku yang menenteng-nenteng kantong makanan dan tempat minumku. Aku berlari sebagai bentuk kepuasanku bermain di sana, dan segera memeluk manja ibu yang meraihku di bawah. “lanjutkan bermain gih, Nak. Ibu mengawasimu dari sini saja bersama bibi.” ** Demikian kenangan masa kecilku, ketika aku berusia 4empat tahun. Teramat jarang, bahkan mungkin tidak pernah kusaksikan ibuku kelelahan dan terbaring lemah tak berdaya menahan sakit, mrintih setiap bangun tidur, wajah dengan banyak koyo menempel, serta pulang pergi mencari pengobatan yang cocok. Jauh dari masa itu, teramat jauh dapat kualami lagi. Kini semua kenangan berserakkan di setiap penjuru memori, di setiap sudut ruang di rumah kami, di setiap tangis dalam tawaku. Ibu… ingin sekali aku mendekapmu, hangat. Sebagimana kau tak lekang mendekapku waktu aku masih kecil.. Ibu.. ingin sekali aku meciummu, manja. Sebagaimana kau tak luput menciumiku waktu aku lincah berlarian… *** Sesampainya aku pada taraf baligh, selalu ku abadikan moment paling berkesan dalam memoriku. Kala aku melapor, “Ayah, aku baru saja haidh.” Ayah hanya mengangguk. Tak begitu mengagetkan, karena memang aku terhitung lambat dibandingkan teman-teman seusiaku di sekolah. Hanya mengatur hal-hal yang sebelumnya belum kuketahui dibantu kakak perempuanku. Namun, seminggu setelahnya terparangah kulihat rumahku ramai, banyak saudara yang membantu ibuku memasak, dan… “nanti malam kau akan dibai’at, Nak. Ayah ingin setiap anak ayah mencapai usia baligh melewati tradisi ini.” Aku hanya mengangguk dan menurut dalam kebingungan. Kakak perempuanku dan ibu sudah siap mendandani aku seadanya, entah apa yang sebenarnya akan terjadi, bak patung penurut yang siap digerakan kesana kemari. Tangan hangat ibu menggandengku menuju ruangan itu, tempat dimana ayah mengajar ngaji para santri. Sudah banyak orang ternyata, para santri dan keluarga besar di sekitar rumahku turut menghadiri. Duduk dilingkari semua yang hadir, didepanku sudah tersimpan Al-Quran yang berhadapan dengan ayah. Tenyata, bak eksekusi, aku harus melafalkan kembali syahadat secara resmi disaksikan khalayak dan Al-Quran, serta sebagai tanda bahwa bimbingan ayah dan ibu slama ini akan mulai terlepas, aku sudah harus menanggung pahala dan dosa sendiri. Seselesainya aku melafalkan ulang syahadat dibimbing ayah,beliau bernasehat,”Nak… sampai di sini kita saling terikat dalam pahala dan dosa di hadapan Allah. Namun bukan berarti kami akan mebiarkanmu terombang-ambing mengikuti arus alam yang tidak semuanya baik, namun kini kami hanya sebagai pemantau dan pengarah. Sekarang, kau yang akan menanggung sendiri dampak dari amalanmu, kau yang akan menabung sendiri pahala dan menjauhi dosa yang telah kau ketahui.” Air mata itu bukan hanya tetesan, namun mengalir begitu deras membasahi wajah dan hatiku. Lampu yang temaram,suasana yang begitu mengharukan, semua yang menyaksikan larut dalam keharuan yang teramat dalam, terutama ibu dan ayahku. Semua orang merangkulku, menenangkan dan mendoakan. Ini belum seberapa ya Rabb, terlampau biasa dibandingkan dengan perjuanganku dalam usia yang semakin berkurang. *** Pagi yang ceria. Senyuman mentari terlihat dari pantulan cahaya dalam segar embun di atas dedaunan. Kulihat ibu baru selesai memasak sayur dan merapikan di lemari, aku terlambat bangun untuk membantunya karena kelelahan semalam tiba di rumah cukup larut malam. Seutas senyum menyambutku pagi itu, dari ibuku yang teramat kucinta. Kususuri rumah hingga ke halaman, keponakanku, Fathiya sedang berlarian mengejar ibunya dengan tawa renyah memecah udara. Ayah baru kembali dari kebun membawa dua ikat besar kangkung segar, langsung menyapa cucunya dengan hangat. Subhanallah.. kebahagiaan keluarga tiada bandingannya, aku sangat merindukan suasana seperti ini. Ibuku akan kembali bugar, mengerjakan rutinitasnya dengan baik ketika semua anak dan cucunya berkumpul, selalu seperti demikian. “Aku berangkat lagi ya, Bu. Jaga Kesehatan.” Pamitku karena harus kembali ke luar kota untuk sekolah. Dilanjut kakak perempuanku bersama suami dan anaknya, terlihat raut muka kecewa di wajah Ibu karena sedih ditinggalkan anak-anak kesayangannya. Dua hari kemudian… Kudapati lagi kabar, ibuku tak bisa beranjak dari tempat tidur, badannya sukar digerakkan, dan kembali terkulai lemah untuk beberapa waktu. Benar, beliau sangat membutuhkan keluarga tercinta untuk menopang semangatnya agar tetap sehat. Karena dengan semangat cintalah satu-satunya obat paling muanjur untuk membangkitkan ibu dari keterpurukan menghadang penyakitnya. Sampai kapanpun, sampai semua menemukan titiknya.

Shal Biru, penyambut Deru Cintaku

Tergesa-gesa aku merapikan ruangan yang sedari malam tak begitu tertata itu, ulah si kecil kesayanganku yang ingin diantar tidur dalam permainan bersama Mak Icah, pembantuku. Tak lebih dari satu jam semalam tadi seselesainya kita muroja’ah hafalan Juz 30 bersama Keysha, aku merebahkan tubuh di shofa dekat dengan TV yang meramaikan malam namun tetap terkalahkn dengan celoteh Keysha bersama Mak Icah yang terus mengacak-acak boneka itu. Fiuhhh.. pagi ini masih dapat kuatasi, Alhamdulillah ruangan ini sepertinya telah rapi seperti semula. “eitsss..eits… mau apa, sayang? Kamu gak boleh mengangkat barang berat ini.” Dari balik badan suamiku meraih kedua tangan yang hendak menggeser-geser kursi yang tidak pada tempatnya. Genggaman segar pagi itu, kubalas senyuman ramah menyaingi mentari. “tidak apa, Abi. Biarkan Umi membereskan ya? Kasihan Mak Icah amat kelelahan menemani Keysha semalaman.” “tidak begitu juga, Mi. Biar Abi yang membereskan ya? Umi tunggu saja di meja makan, kita kan sarapan bersama.” “Baiklah..” dengan sangat berhati-hati aku meraba setiap benda sekitar agar segera dapat kudatangi meja itu. Ya, sudah hafal memang semua lokasi di rumah baru ini, namun terkadang masih tercium dinding-dinding yang bertengger di muka. “Pagi, Ummi… Aku susah dibangunkan ya untuk tahajud?” Keysha segera menempati kursinya di ruang makan setelah mengecup pipi kananku. “Iya, Nak. Umi juga tidak tega untuk memaksamu, kau begitu pulas dan kelelahan.” “Dua biadadari Abi menyaingi indahnya merekah bunga di pekarangan depan nih.” Suamiku segera menyantap sarapan yang telah kusediakan. Segar tuturnya tak pernah buatku jengah, meski itu-itu saja. Tapi tiada lagi yang dapat kusangkal nikmat Mu ya Rabb, aku sangat bahagia setiap hari di rumah mungil ini. Seselesainya sarapan, rumah pun kembali sepi hingga sore hari. Suamiku berangkat ke tempat kerjanya, sedangkan Keysha bersekolah dan mengaji hingga petang. Kuraih hakpen beserta benang wol untuk memulai hobiku merajut setelah menunaikan shalat Dhuha dan tadarus. Sudah satu minggu ini aku menekuni keterampilan ini dengan harapan aku dapat membuat Shal untuk suamiku di hari ulang tahunnya dua minggu lagi. Dengan tekun aku mempelajari, merajut, menyentuh hati-hati, agar dalam keterbasan peglihatanku ini aku masih dapat memberikan hadiah yng berkesan untuk cintaku. Ditemani lantunan murattal, aku masih dapat bertahan hingga pukul satu siang. Sesekali Mak Icah mengingatkanku untuk beristirahat sejenak, namun hatiku selalu menolak enggan meski kelopak mata sudah tak tahan menahan berat. Akhirnya, menjelang setengah jam menuju adzan ashar tak terasa kuterlelap di shofa ruang tamu dengan benang yang masih tergenggam di tangan. Mak Icah membalutkan selimut di setengah tubuhku agar tak kedinginan. Sungguh alam yang teramat indah, lengan ini tak luput dari genggaman, tubuhku tak luput dari dekapan hangat suamiku. Teramat tampan, hingga tiada kudapati jengah meski beribu jam aku menatap tiada kedip. Aku diajak menari-nari di belantara rerumput dan bunga-bunga yang berselimutkan kabut sejuk, bermain dengan ikan mungil merah di dasar pertemuan air terjun dan pasangan serasinya, telaga jernih. “Aku baru melihat keindahan alam yang sesungguhnya, Abi. Slama ini hanya utopia dan illusi saja yang Umi dapat tampakkan.” Suamiku membalas dengan senyum yang tiada tandingan indahnya, bahkan suasana tempat kami waktu itu. “Umi, Abi tak akan selamanya dapat berada dalam rangkulan Umi. Abi akan pergi..” Terksiap. Aku tak faham dengan apa yang baru saja suamiku utarakan. Dengan cepat aku meraih tangannya dan menatapnya lekat. Suamiku melanjutkan, “Abi harus pergi..” Bulirr airmata ini menderas di luar kesadaranku, degup jantung pun seketika tak dapat kurasakan lagi. Allahu akbar allahu akbar, “Ibu, adzan ashar.” Mak Icah membangunkanku. “Astaghfirullah….” Desahku sembari beranjak dari shofa, ini hanya mimpi, Abi tidak mungkin meninggalkanku seketika. Kembali lagi ya Allah, mataku masih belum dapat menikmati pemandangan realita, Alhamdulillah tadi kau beri keempatan kepadaku untuk memandangi alam dan, suamiku mungkin. Dalam untaian doa, aku berdesah menahan pilu jika mimpi tadi benar-benar sebuah isyarat akan sesuatu yang sangat tidak aku ingini. “Jika memang Kau akan memisahkan kami, maka ridhailah perpisahan kami dalam jalan yang ikhlas dan sanggup kuterima…” sebagian rentetan doaku sore itu. Sudah Pukul Sembilan malam, suamiku belum juga datang. Resah mulai merajai asa, gelisah, kupasang pendengaranku dengan seksama terhadap deru suara mobil yang suamiku kendarai. Tapi, tetap tak kunjung datang. Ya Allah… selamatkan dia dalam perjalanannya. Tak lama, kuterima sebuah telpon dari handphone-ku, dengan percakapan pendek, “sayang.. maaf aku tidak bias pulang malam ini, ada meeting penting mendadak. Kamu lekas istirahat dan jangan kuatirkan aku.” Tak sempat aku diberi kesempatan untuk menanggapi, percakapn itu segera terputus. Mungkin suamiku sangat sibuk, dengan segenap tenaga aku beruaha husnudzon dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Dalam gusar aku terbaring, dengan doa aku harus memaksakan untuk tidur, meski masih tetap gusar. Subhanallah.. aku terbangun kesiangan. Ini sudah pukul 5 pagi, dan aku belum shalat subuh. Segera aku beranjak dari tempat tidur seraya memohon ampun atas kelalaianku terlambat menghadapMu ya Rabb. Sempat dahi ini menabrak tembok toilet, langsung aku bersimpuh dalam khusyuk. Seselesainya shalat, wirid, dan membaca Al-Qur’an braile, aku berdiri untuk meletakkan kitab sicuku di atas meja. Ada benda asing yang kusentuh, kuraih, sebuah recorder. “Apa ini?” Kebinginganku, segrera ku pencet dan terdengar suara, suamiku. Adinda Zahara..Terima kasih tiada tara kusanjungkan untuk kau yang 10 tahun ini telah mampu membangun cinta denganku. Kuakui, kukagumi, kau begitu berharga sebagai seorang Ibu untuk mendidik Keysha dengan keterbatasan yang kau miliki. Kau teramat tegar untuk melawan deras ujian yang kau lalui. Keshalihahanmu pun selalu buatku takjub, kau luar biasa. Namun, Kesabaranku ternyata tak sekuat yang aku kira. Keinginanku tidak dapat kubendung lagi utnuk bersanding dengan seseorang yang sangat aku ingini. Kuakui, dua tahun terakhir ini aku menjalin hubungan dengan kolega perempuanku di kantor. Dan, kami sudah sangat saling mencintai. Bahkan melebihi cintaku padamu. Kupikir hubungan ini hanya sesaat, namun ternyata tidak. Aku malah semakin terbuai dengan dia dan ingin meminangnya segera. Maafkan aku lancang memutus hubungan suci ini denganmu. Aku kurang sabar menghadapi kekurangan yang kau milki. Meski terus aku coba untuk bertahan, ternyata nihil. Aku tak sabar denganmu. Aku tak siap harus saling pandang searah denganmu. Tapi aku janji, Keysha akan rutin aku jenguk dan sesekali membawanya bermain. Biaya hidupnya semua akan aku tanggung. Semoga kau tabah menerima ini, dan semoga kau dapat menemukan pendamping yang lebih dapat menerima kau seutuhnya dan seluruhnya. Wassalamu’alaikum… Lafadz salam itu mengakhiri suara yang sangat kurindukan. Nafasku tersendat, otot tubuhku semua melemas, hilang kendali. Tubuhku tersungkur di lantai, hingga tak sadarkan diri dengan wajah berlinangan air mata yang tak bisa lagi kubendung. “Nak, kau sudah sadarkan diri?” suara yang tak asing membangunkan istirahat lamaku di ruang serba putih ini, Ibuku. “Ibu…” Tanganku segera meraih belaian hangat di kepalaku. “Ibu mengerti, nak. Kau yang tabah.. Ibu tau kau lebih dari setegar karang. Allah pasti akan mendatangkan yang terbaik untukmu.” Bulir air membasahi pipiku lagi hingga aku ditenangkan dengan dekapan Ibu dan Ayahku yang tetap menggenggam tanganku. “Keysha mana, Ma?” “Anak itu sangat sholehah ya. Dia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun dia tetap ceria dan tegar menghadapinya. Tuh sekarang sedang bermain sama Mak Icah di depan ruanganmu. Anakmu mirip sekali denganmu.” Alhamdulilah, aku tau aku pasti kuat Ya Allah. Mungkin A Fakhri tak lebih baik untukku dan Keysha meski dia adalah darah dagingnya sendiri. Ini adalah suratan dariMu, dan harus aku ikhlaskan sebagai bentuk keta’atanku kepada Mu. Semoga ket’atanku juga selama ini kepada A Fakhri sesuai dengan apa yang Kau perintahkan, aku ikhlas. Ikhlas dalam pengabdianku kepada suami, ikhlas dalam keta’atanku menuju ridha Mu bersama suami, dan ikhlas menerima apa pun yang menjadi goresan takdir Mu. Aku akan slalu turut dalam titahMu, semua yang ada adalah milikmu Ya Rabb. Dalam keceriaan bersama Keysha dan Mak Icah, celoteh anak itu semakin buatku kuat. Tiada waktu untukku harus berputus asa, justru Keysha yang senantiasa menghiburku yang mulai memasuki gerbang kenestapaan. Di pagi Ahad ini, aku dan Keysha berceloteh ria sembari memain-mainkan pistol air di halaman rumah kami. Anak itu sangat lihai untuk menembakku dengan air, hingga kurasakan sebagian besar kerudungku sudah kuyup dengan air. Mak Icah yang menyaksikan kebahagiaan kami turut berbahagia, dia menyiapkan kami cemilan dan minuman segar sebagai hidangan istarahat bagi pasukan yang sudah berperang, aku dan anakku. “Assalamu’alaikum, Keysha…. Kok Umi mu basah kuyup begitu, sayang?” tanpa disangka ayahku datang mengecup pipi Keysha bersama seseorang, yang… “Zahara, ayah datang ke sini ada suatu maksud. Lekaslah kau ganti pakaianmu yang basah itu, ayah tunggu kamu di ruang tamu.” Aku mengernyitkan dahi, heran dan penasaran dengan maksud kedatangan ayahku ini. Dan, pria yang bersama ayah tadi siapa, sekonyong-konyong langsung so krab dengan Keysha. “Sudah ayah.” Aku segera duduk di shofa pinggir ayahku. Dan Keysha sedang asyik bercerita dengan pria tadi. “Ehm..ehm..” Curiga, perkataan yang dimulai dengan berdehem ini, buatku semakin keheranan.”Begini, Nak. Keysha masih sangat dini untuk menjadi seorang anak yang mandiri. Dan kau, ayah rasa kau sudah saatnya tidak sendiri lagi.” Hmmm, aku mulai memahami maksud ayah. “Perkenalkan, ini Robi, putra rekan kerja ayah di kantor dulu. Dia datang ke sini bermaksud untuk meminangmu.” Sungguh di luar sangkaanku. Belum satu tahun aku menjalani statusku sebagai single parent, kini ayah sudah merekomendasikan seseorang. Aku masih kaget, kecewa, dan takut,bahwa kisah yang pernah kuarungi akan terulang lagi. Mana ada lelaki normal yang akan menerima istri yang tuna netra ini, mana ada lelaki normal dan bujangan yang menginginkan janda seperti aku ini. Konflik batin mulai menghantui. “Assalamu’alaykum, Zahara. Langsung saja. Saya, Muhammad Rabbani Ghifari, dengan segala kekurangan yang saya miliki, saya berniat utnuk meminangmu. saya siap untuk beribadah melaksanakan titah Allah bersamamu dan Keysha, berburu syurga, bersama…” belum selesai Robi melanjutkan, aku menahan, “Tapi…” tak banyak aku diberi kesempatan berbicara dalam kegugupan, “saya sudah tahu semua dari ayahmu. Dan sama sekali tak ada sedikitpun dalam komposisi niatku ini untuk mencintaimu sebagian, atau bahkan menampik kekuranganmu. Ini murni karena Allah, saya siap dengan apa pun yang akan terjadi.” Sebuah keajaiban rahasia Allah yang membuatku terpaku dengan tangis haru, Keysha segera meraih tubuhku dan mencium keningku seraya berbisik, “Aku gak mau melihat Umi sendiri terus.” Ucapan gadisku ini semakin menambah keharuanku. Pemaparan Robi yang begitu meyakinkan, ayah yang tak berkomentar sedikitpun, serta si kecil Keysha yang semakin menambah kekuatanku untuk berkata, “Iya. Insyaallah, Mas Robi. Aku bersedia untuk menjadi pendampingmu hingga singgasana syurga kelak.” Seisi ruangan itu meanngis haru. Robi segera bersujud syukur setelah mendengar keputusanku. Mak Icah yang sedari tadi menguping di balik lemari pun menangis terisak-isak menyaksikan semuanya. Ya Allah, tak ada keraguan sedikitpun untuk keputusanku kali ini. Semoga ini sejalan dengan Ridho-mu. Aaaamiin. Shal biru ini sedikit lagi mencapai sempurna. Meski tak begitu bagus, namun ini dengan susah payah kau rajut. Setelah membangun cinta berama Mas Robi, menjelang tidur aku mengajaknya berbicara, “Mas, aku punya sesuatu.” Shal itu kusembunyikan di belakangku dahulu, “punya apa, sayang..” “Lihat ini.” Kuserahkan denag yakin dan bangga, “ini shal plus plus.” “Subhanalloh.. indah sekali. Kamu yang buat? Plus plus nya apa” terpancar kspresi bahagia dari raut muka suamiku, dan terheran dengan kata plus plusnya. Kusenderkan tubuhku di pundaknya, “Ini original hasil tanganku sndiri. Dan plus-plus nya adalah… eng-ing-eng…sepaket dengan kesungguhan, kerja jeras, ketulusan, dan cinta tiada tara untukmu, suamiku.” Malam itu teramat indah, mengalahkan lincah sinar gemintang memanjakan malam. Bersama imamku,aku lebih yakin, keindahan cinta teramat jelas kupandang, bukan dengan mata yang ini, namun dengan mata hatiku ini.

Jumat, 11 Mei 2012

BALASLAH TATAPANKU INI

Pandangan pertama menyiratkan sebuah garis normal Impresi yang dianggap tepat, mereka baik-baik saja Langkah demi langkah menghampiri tempat itu Ku serahkan sebelah tangan ku sebagai bentuk salam perkenalan Namun bola mata itu berlari mencari pemandangan lain Meninggalkan dan beri acuh atas keberadaanku Kutatap dari sudut ruangan Dia tertawa dalam duka, dan menagis dalam bahagia Di antara bocah-bocah yang lincah menggiring dan memburu bola Di balik pagar lapangan dia memandang jauh ke depan Pandangan yang sama sekali tiada yang bisa ditafsirkan Namun sang bunda tetap setia Temani langkah dalam tabah Selimuti hati dengan kasih Tebar bahagia meski hati berkecimuk apa Namun apa mau dikata, takdir tiada lebih indah tanpa kepasrahan Bukan diserang dengan penyesalan, namun dilingkari cinta tiada tara Wahai adik, duniamu penuh warna Duniaku jua, lebih dari warna yang kau kenal Di atas tanah ini kita bertegur sapa yang sirna Di atas tanah ini jua kita pernah bertatap muka tanpa keselarasan jiwa Namun alam selalu temani kita Meraih impian, mengenyahkan aral, meramu sebuah keterasingan menjadi keluarga

poet

ADAKAH KEGELAPAN YANG KUDUSTAKAN? Sepoy angin membawaku mengejar jalan yang kan kutuju Hingar bingar masyarakat sebagai euphoria kehidupan bak tiada saat untuk menghayati Merenungi dan memanjatkan rasa syukur atas yang telah digenggam Pasangan sejatiku adalah benda mati Benda yang senantiasa kuhidupi sebagai wakil dari tatapku Sebuah tongkat yang selalu menari menyapa setiap tepi dari jalan yang kujejaki Seringkali aku tersenyum, ups… lobang itu hampir saja kuisi dengan kaki ini Meski terang seperti apa yang dikatakan khalayak belum dapat kusaksikan Tapi terang keikhalsan dan kebahagiaan hidup selalu terpatri di kalbu Menerangi bola mata yang tiada fungsi seperti manusia normal Namun heran, bola mata direndai dengan keindahan Dipasangkan dengan fenomena yang tiada sejalan dengan kebenaran Ada ada saja manusia ini Sering di bawah alis ini bergetar menahan sesak di hati Bergejolak ingin aku dapat menatap lincah lambaian dedaunan itu Menengadah menatap langit dengan kemilau gemintang itu Di setiap pertemuan hatiku dengan Tuhan, hatiku berteriak mengalahkan keramaian Tuhan, di Surga nanti, izinkan bola mata ini nikmati indah karunia-Mu.

Jumat, 20 Januari 2012

MENGINGAT KEMATIAN

Tadi, tepatnya masa-masa riuhnya mesjid dengan suara bocah sedang ngaji terbesit sesuatu yang buatku mikir, bahkan hingga meneteskan air mata kala takbiratul ihram.
MENGUNGKAP PENTINGNYA MENGINGAT KEMATIAN
Tema ini buatku terngiang-ngiang menoleh realita yang ada. Lihat, fase anak-anak dipakai dengan rajin dan menjadi suatu keharusan dari tata agama bahkan adat masyarakat. Pergi tiap beberapa saat sebelum berkumandang adzan maghrib menggenggam iqro dan kitab di tangan sesekali disisipi kejar-kejaran sebagai nuansa kekanakkan mereka. Dan, pengajian rutinan, mingguan, dua hari sekali, diikuti oleh para ibu dan para bapak (malam) untuk belajar juga dengan metode ceramah tetapi memiliki kesamaan judul, mengaji.
Sekarang, yuk deh lihat para insan yang dikatakan manusia fresh sebagai agent of change di setiap wilayah. Masa-masa remaja dan dewasa produktif. Jika saya tilik-memang seharusnya masa berkobarnya semangat-mengenai keaktifan, seolah mnyampingkan kebutuhan penting setiap manuasia yang terabaikan yakni ketenangan batin (spiritualitas), mayoritas. Keseuriusan memenuhi kebutuhan batin dimiliki makhluk yang masih segar dan baru menghirup alam dunia ini (anak-anak) dan beliau-beliau yang dikabarkan sedang menanti panggilan kembalinya. Nah loh?? Lalu, apa yang jadi faktor makhluk muda sulit menyadari itu semua??
Sampel. Di kampung saya dan sekitarnya, masa indah para remaja hang out ria dengan style menyerupai personil band indo ala melayu menarik dan mengeluarkan asap rokok dengan tenang sedang para Kolot khusyu’ beribadah di seberang tempat mereka bergerombol. Mesjid, hanya diisi bocah-bocah ricuh dan para bapak paruh baya yang batuk-batuk namun tetap memilki etos ibadah.
Mumpung masih muda. Mumpung kuat. Mumpung masa-masa hura-hura. Mumpung masih sendiri, belum ada bini yang ngomel-ngomel. Mumpung belum punya tuntutan banyak. Mumpung hidup! Itu yang harus dijadikan bekal kita berbuat, menabung amalan shaleh, merenungkan makna dari sebuah kehidupan untuk kebahagiaan hakiki.
Kita ni, pemuda/i yang diamanati berbagai aspek, di rumah, kampung halaman, atau bahkan suatu wadah yang lebih luas dan formal, berhati-hatilah, dan proporsional antara jiwa dan raga. Jika esok kita tidak bisa menyaksikan celoteh rekan-rekan kita lagi, tiada kasih sayang keluarga dan sahabat lagi, bisakah kita berteriak menembus langit untuk meminta kembali kepada Allah? It’s impossible, di dunia ini, kita hanya rekreasi. Ukirlah dengan tinta emas yang tetap berkilau meski sang pengukir sudah tak bisa menyaksikan.

17 Januari 2012. 22:13

GARIS TEPI BOLA MATA

Langka nian menjadi saksi keletihanmu
Adatnya tiap mentari mulai merekah kau temani dengan lantunan Quránmu
Kini ragamu tak jua mau jadi pendukung
Atas lebatnya kewajiban dan rutinan
Tak kudengar suara dahak tenggorokan
Apalagi kudengar keluh erat menekik urat kepala
Namun memang, terlalu lelah jika kau harus terus bergerak
Bola mata ini bosan gerak menyentuh garis tepi
Melihat kau bolak-balik gusar
Tiada nyaman jika rehat bertemankan terang matahari
Permaisurimu pun sulit fahami
Kabarnya, saling faham memang tak bisa dielakkan
Tapi tak terjangkau indera
Kuyakin cinta tak terbendung hanya dengan satu hati
Semoga rumah ini ramai dengan gema tadarusmu lagi
Was-was tertindas kala langka aku di sisi temani
Jadi saksi kalian yang tengah rapuh, melawan lincahnya penyakit

*Ketika Ayahku yang biasa kokoh tersentuh penyakit

TEBAR KASIH GEMINTANG

Memeluk lutut telanjang namun leher terselimuti shal tebal buah karya murni tanpa kontaminasi bahan canggih apa pun dari Ibu. Pekarangan di belakang rumah telah sunyi, hanya bertemankan ramai suara jangkrik yang entah sedang pesta atau berteriak kegirangan bertemu pasangannya di gulita malam yang indah ini. Matahari sudah bosan menatap langit yang mulai murung, atau hanya mungkin tak terjangkau inderaku saja. Tapi baguslah, ini lebih membuatku damai dari pada harus menghadapi makhluk si master mengeluh di luaran sana.
Ngomong-ngomong betis memerah diciumi nyamuk sama sekali tak kusadari ya, tak apa, ini bukti cintanya mungkin.
“Terlalu cengeng jika setiap ku sapa malam dengan air. Maka kali ini seikhlas senyumku untukmu, bintang. Ternyata hariku stagnan, rasanya aku ingin loncat ke pangkuanmu.”
“Sayang.. sudah larut malam, ayo tidur. Aku tak ingin kamu sakit.” Pria gagah memunculkan kepala yang dihiasi tampan parasnya dari jendela, lubang tempatku menuju atap rumah.
“Iya. Bintangnya juga sudah mulai sayu, mungkin dia ingin tidur juga.”
Rangkulan hangatnya memang selalu buatku nyaman, meski tak mencapai ketenangan. Suamiku, iya dia suami yang begitu baik, teramat baik. Namun sayang, hatiku belum dimilikinya.
***
“Aku belum bisa mencintai dia. Tapi aku tak tega jika harus mengakhiri hubungan ini, kasihan ibuku di langit sana.”
“Tapi ini kewajibanmu. Harusnya kau kalahkan, bahkan kau harus bunuh ego-mu itu.”
“Tak ingin. Aku tak bisa menghapus semua. Rasa ini yang terus buatku hidup”
“Semua bisa kau lalui, Amira. Suamimu lebih dari sekedar cukup untuk mencintaimu.”
“Orion, aku sadar ini kesalahanku sejak awal.”
Inilah percakapanku setiap kali dalam mimpi bersama Orion. Dia adalah sahabat yang selalu beri kehangatan, tentu saja dia adalah bintang yang sering kuajak bicara sebelum aku beranjak tidur. Percaya atau tidak, percakapan ini aku lakukan ketika aku merebahkan tubuh di atas hangatnya. Itu nyata ku alami, di alam mimpi ini.
***
Ciuman hangat itu buatku terbangun, Suamiku. Menatap hangat dengan dasi yang telah menggantung rapi serta senyuman hangat pagi menyaksikan keluguanku kala bangun.
“Aku pergi ngantor dulu ya, sayang. Sarapan pagi sudah aku buatkan spesial. Happy birthday my dearest wife..”
Kusaksikan rumah begitu rapi dan.. Subhanallaoh, indah sekali. Mawar merah bertebaran di ruang makan, sebuah kotak kecil pun temani sarapan ku pagi itu. Ternyata, berisi kalung indah yang buat seluruh tubuhku bergetar bahagia, terlalu indah untuk ku genggam. Ah, suamiku. Handphone ku berbunyi, ada sms, “semoga kau menyukainya, sayang.”
Selepas aku makan, bersegera aku menuju kamar mandi yang juga dipenuhi aneka bunga indah nan segar. Hmm.. Ibu, niatmu begitu besar menjodohkanku dengan Pria yang teramat sempurna. Ok, jadwalku ke salon pagi ini. Segera.
***
“Hai.. udah? Aku butuh cream bath nih, rambutku lumayan bau apek. Hehe” Sapa mulaku untuk Yasmin, yang selalu menemaniku kemanapun ku mau.
“Aku udah semua. Silahkan, aku nunggu di sana ya sambil baca majalah baru ni, exclusive. “ Sembari menunjuk ke sofa salon di pojok sana.
Beberapa saat pun berlalu. Aku sudah menjalani rutinitas di salon ini. Selanjutnya kami menuju ke toilet, sekedar untuk menghadap cermin dan merapikan yang sudah sebetulnya rapi.
Ketika pandangan kami bertemu. Debar jantung tiada nada normal, hasrat bergejolak tanpa garis tepi. Kami terjebak dalam kealfaan yang tiada ada benarnya..................... sejak remaja, kami memang memiliki perasaan yang sama, bahasa yang lebih populer, we are lesbian. Aku tau ini sebuah kesalahan fatal, apalagi utnuk ukuran aku dan keluargaku yang teramat kental dengan islam, juga suamiku. Maaf, tapi ini bukan inginku. Sejak kami harus dihadapkan dengan kenyataan terisolasi dari maraknya kawan di sekolah, kami selalu berdua, kemanapun, di manapun. Ini khilafku hingga kami tenggelam dlam rasa yang tiada dusta memang terlalu jauh hingga ke palung hati.
Nit..nit..nit. nada handphoneku, calling, just number.
“Selamat siang, dengan Ibu Amira?” Suara yang begitu tegas, membuatku terhentak kaget.
“Be..betul. Siapa?”
“Kami dari pihak kepolisian. Suami Ibu barusan mengalami kecelekaan beruntun dan tidak sadarkan diri, sekarang sedang dirawat di RS dekat kantornya.”
Tak terhitung kekagetaannya, deras air mata tiada bisa kubendung lagi. Ototku melemas, tak kuasa aku berdiri. Yasmin, satu-satunya orang yang sedang bersamaku langsung meraih HP dan membawaku ke RS tempat suamiku dirawat.
***
Masih dalam perjalanan, Ibu mertuaku mengabarkan bahwa suamiku telah dipanggil Sang Khaliq. Aku tak lagi bisa mngkungkung rasa sedih ini, rasa kehilangan yang tiada tepi.
Ya Allah, mengapa terlalu jauh aku menjadi seorang isteri yang begitu patuh
Sehingga balasan kebaikan suami sangat tak sebanding dengan pengabdianku kepadanya
Aku bahkan tidak tahu kalau dua hari sebelum aku ulang tahun adalah hari ulang tahunnya
Ternyata, dia tau tentang hubunganku dengan Yasmin, tapi tak pernah dia marah, bahakan menyinggung sedikitpun
Cintanya begitu besar menyaingi seantero cinta yang ada di dunia ini
Bertahun-tahun hidup seatap, aku bahkan tak tahu makanan kesukaannya
Aku tak pernah menyiapkan pakaian untuknya berangkat ke kantor
Bahkan, aku tak tahu jika dia memiliki penyakit jantung yang membuatnya pergi meninggalkanku
Di hari bahagiaku
Di hari dimana aku terlalu kejam mengkhianati cintanaya
Di hari di mana kerinduanmu lebih besar untuk memanggilnya ke sisimu.
Aku mencintaimu, Mas.. namun aku belum memiliki keberanian untuk mengucapkan ini semua.
Orion... aku mencintai suamiku, aku begitu mencintainya
***
Sejak kepergian itu, Alhamdulillah, dibantu sahabat dan kerabat, aku terhindar dari keharaman mencintai Yasmin. Bahkan sekarang aku jauh lebih dekat dengan keluarga suamiku, yang begitu menyayangiku jua. Takkan kusesali semua yaang kujalani dengan suamiku. Suamiku, semoga cinta ini dapat mempertemukan kita disyurga. Amiin.

Senin, 16 November 2009

Ba’den… mO jadi apa…,,,??!!

Seperti itulah hal yang selalu ada di benak setiap remaja. Ada yang mikirin hanya sejenak, bahkan ada yang berlarut-larut bahkan na’udzu billah gila mikirin hari esok..bagi sebagian remaja mungkin sekarang dijadikan ajang prepare buat nentuin masa depan. Ada yang pengen focus di agama, sains, bahkan bisnismen lulusan IPS atau SMK. Duh, kalo udah gnomongin ini suka agak bingung. Tapi, gak sedikit loh orang yang apatis soal ini. Mereka seolah berfikir hanya kali ini mereka hidup. Mereka seolah tau bahwa nasib mereka kelak akan bagus. Emh…mending kalo feelingnya bener, coba kalo salah. Akh…! Nyesel banget tuh…!!!! Kata tipe-X band juga “penyesalan memang slalu menakutkan,tapi itu kenyataan”…
Buat saya, hal ini it’s very important. Yupz, yang namanya future itu musti diprepare sejak ini. Ngomongin program iduph…banyak skali yang udah disave dalam otak.
1. Saya pengen skali kuliah jurusan Sastra Indonesia di UGM. Rada ngayal emang, tapi why not?! Kalo gak kesampean di sana juga saya punya duplikat di UPI..
2. Karena ortu basicnya agama, beliau juga pengen saya mendalami agama, ya…kalo ortu tetep maksa pun saya akan ikutin mereka buat kuliah jurusan Sastra Arab. Or…saya kuliah aja sambil mondok di pesantren salaf. Di mana pun itu…
3. Orang tua, khususnya ibu ingin anaknya bahagia lahir batin. Nah, agak seurius soal ini. Buat bikin mereka tenang, saya harus seslectif mungkin nurutuin pendamping. Dan orang itu harus baik pastinya, serta mahir di bidang agama. Cause….blom ada generasi buat ngurus pesantren n Panti di rumah eunk. Ortu pengen saya gak salah pilih. Ya…smoga aja nemu di jalan..Eh, dimana aja maksudnya
4. Setelah punya mahligai rumah tangga [ha..ha..] saya bakal kerja jadi aktivis social, ok…koki handal, ok…penulis, ok…yang pasti jadi wonder women buat anak n suami entar…
5. Oh iya, cita-cita tertinggi saya adalah…(jreng…jreng…) saya pengen ngehajiin ortu. Kasian mereka belom pernah datang ke tanah suci. ( Ma, Pa, kalean do’ain dila aja. Senyum kalian adalah senyum dila. Nangis kalian adalah nangis dila…)
Nah, begitulah planning yang baru terkonsep ampe detik ini. Harapku semoga dapat terkabul. Wahai orang-orang yang saya cintai, dan orang-orang yang mencintai saya. Mari kita bergandengan tangan menyongsong masa depan, menepis segala problematika kehidupan.

Senin, 02 November 2009

aManDa....iCh liEbe diCh...!!!!!

Gak pernah aku membayangkan bisa duduk di sekolah ini. Yupz,,,MAn DArussalam Ciamis yang biasa anak-anak sebut AMANDA. Emang rada kaya nama artis sie....juztru itu buat gampang dihafal orang...
Ea...awalnya mana ada si anak yaang langsung betah. 3 bulan pertama si pengen balik,,,nangis si jarang...v mo gimana lagi, orang dari brojol sama ortu terus. Sekarang dituntut buat sendiri...Uekkhh.....emang susah. V berkat nyobaa aktif di berbagai organisasi, akhirnya bisa juga nikmatin n memvonis bahwa "dEal...ini rumah lu"...
Salah opini orang tentang 'Makan gak makan asal kumpul" dalam kondisi kaya gini. Justru yang bener 'Kumpul gak kumpul asal makan'...masa musti terus tidur di paha ibu kalau kita bercita-cita pengen jadi jendral...aha,, meski sedikit memindahkan cinta. Eits...jangan negative thinking dulu. Awalnya kan sahabat ada di sana, sekarang orang yang peduli, yang selalu nemenin kemanapun berubah, otomatis cinta berpindah. Mrnambah koleksi yan dicintai paling tepat...
Cheer up slalu wat gua dan nak-nak yang seperjuangan sama gua...kita berjihad bareng...!!!!
trim's a lot rival-rival yang gua anggap sangar tapi sebenernya memotivasi....tunggu gua akan bersinar lagi,,