Minggu, 20 Mei 2012

SEMANGAT IBU DALAM LINGKARAN CINTA

Malam gemercik hujan temani gerungan suara ibuku menahan nyeri di kepala, dan tak kuat melawan dingin. Segera, kutuangkan semua persediaan air panas ke dalam botol bening yang sudah bersahabat senantiasa temani ibu tidur, bahkan sedang tiduk tidur jua. Meringis, menangis, berteriak pelan menahan perih. Kugenggam tanganya yang mendingin karena cuaca, kuberikan dan kutempatkan botol berisi air panas itu di atas perutnya. “Bu.. harus dengan cara apa lagi aku mengundang kesehatanmu, mengundang keceriaanmu yang tiada tara itu.” Hatiku kerap berteriak membalas keluhan kesakitan ibuku. Setiap setelah adzan subuh, dalam langkah tergopoh Ibu berwudlu di luar tauku dan sudah kerap kudapati sudah terlentang dalam bacaan shalatnya di atas tempat tidur. Sesekali suara seraknya memanggil, “Nak.. airnya sudah mendingin, tolong kau gantikan dengan yang panas lagi ya.” Dengan anggukan dan menunduk penuh haru dan khawatir kutuangkan lagi air panas yang tak jarang mengenai kulit dan sedikit membuatku sakit. Kembali aku ke kamar, dalam doa aku meratap harap, Ibuku sayang dapat bugar dan kembali tegar seperti sedia kala, ibuku yang sejak ditinggal anak-anaknya berumahtangga dan merantau untuk bersekolah sering sekali terkulai lemah, dalam waktu yang tidak sedikit. Berbagai jalur pengobatan sudah kami tempuh, tak kenal jemu Ayah pun membawa kesana kemari, berhutang kesana kemari, menjual ini dan itu, untuk pengobtan yang dijalani Ibu. Namun alhasil, hingga saat ini stiap kali masalah berat menghadang, setiapkali tenaga Ibu diporsir untuk mengurusi anak-anak Panti bahkan untuk sekedar membantu acara tetangga, tak lama setelahnya dia akan kembali terkulai tak berdaya dengan desahan kesakitan yang dia lawan. Dalam posisiku yang sedang berjuang mencari ilmu nun jauh dari rumah keluargaku, hanya kudapati kabar via sms, “Sudah seminggu ini Ibu tak bisa ke dapur untuk memasak, Nak.” Sebagai balasan sms dariku untuk sekedar menanyakan kabar. Dalam nuansa kegembiraan bergurau dengan rekan seasrama aku terdiam dan merenung, menatapi kata-kata dalam sms yang Ibu kirimkan sembari berbagai bayangan dan kenangan bersamanya menguasai rasa dan pikiranku saat itu. Keluar, kutinggalkan asrama dan menatap langit di lorong lantai dua asrama kami, berharap langit akan menyampaikan kerinduan dan keinginanku untuk memeluk Ibu di sana, yag meronta menahan penyakit yang diderita. “Bu, jadi apa sebetulnya penyakit Ibu?” “Entahlah, Nak. Dokter yang ini mengatakan ini, yang lain beda lagi, pindah lagi dan memvonis beda lagi.” Jawabnya, gusar. Mungkin memang ini yang dikatakan psikosomatis. Iya, terlalu banyak yang harus Ibu urus dan pikirkan dalam kondisi yang memang bukan kemampuannya. ‘Sudah tuntutan sebagai seorang isteri tokoh masyarakat.’ Begitulah fatwa masyarakat menyaksikan kondisi Ibu. “Apalagi anak-anak teramat bandel dan mengesalkan, teh.” Ungkap bibiku, mengaitkan dengan kondisi anak panti di rumah. Ya Rabb, maafkan aku tidak bisa seintensif yang diharuskan untuk mendampingi hari-hari Ibuku, namun setiap rangkaian do’aku selalu kuprioritaskan untuk beliau, dan Ayahku. Tuhan baru kusadar Indah nikmat sehat itu Tak pandai aku bersyukur kini Kuharapkan cinta-Mu Lantunan Nasyid Edcoustic senantiasa mengantar dalam istirahatku, malam mini.. *** “kemari, Nak. Ibu sisir dulu rambutmu.” Di serambi rumah kami mempersiapkan diri sebelum berangkat berlibur ke Kebun Binatang Bandung. Bersama keluarga besar yang lain. Kemudian Ibu menghiasi rambut kecoklatanku dengan jepitan-jepitan kecil berwarna-warni, sedang aku asyik dengan mainan da permen di tangan. Dalam kegembiraan tiada tara, aku, Ibu, sepupu, bibi, semua segera menaiki mobil yang sudah bertengger dekat rumah. Hore! Akhirnya aku berlibur juga ke luar kota, ke kota yang sering disebut-sebut di TV itu . Awal perjalanan masih riuh dengan celotehan para anak dan keramaian para ibu yang mengobrol kesana kemari. Belum sempat setengah perjalanan, semua merasa lelah. Rambutku yang sudah tertata rapi pun teracak oleh gesekan dan ketidaknyamananku di atas jok, di atas pangkuan ibuku, karena sangat sedak dan terlalu banyak bawaan makanan untuk di sana. Wajah yang melusuh dan mencoklat terkena pantulan sinar matahari, namun ibuku tak kenal keluh dan lelah untuk terus memegang erat tubuhku di pangkuannya. Kala itu aku masih berstatus bungsu, adikku belum terlahir ke dunia ini, jadi wajarlah jika ibu benar-benar sangat memanjakanku. Setibanya di tempat tujuan, semua kelelahankarena tersedak di mobil menghilang. Aku berlari menyusuri jalanan bersama sepupu-sepupuku yang lain sembari menyapa setiap binatang yang kami temui. “Ibu….” Aku berlari dari jalanan yang lebih tinggi memeluk ibuku yang menenteng-nenteng kantong makanan dan tempat minumku. Aku berlari sebagai bentuk kepuasanku bermain di sana, dan segera memeluk manja ibu yang meraihku di bawah. “lanjutkan bermain gih, Nak. Ibu mengawasimu dari sini saja bersama bibi.” ** Demikian kenangan masa kecilku, ketika aku berusia 4empat tahun. Teramat jarang, bahkan mungkin tidak pernah kusaksikan ibuku kelelahan dan terbaring lemah tak berdaya menahan sakit, mrintih setiap bangun tidur, wajah dengan banyak koyo menempel, serta pulang pergi mencari pengobatan yang cocok. Jauh dari masa itu, teramat jauh dapat kualami lagi. Kini semua kenangan berserakkan di setiap penjuru memori, di setiap sudut ruang di rumah kami, di setiap tangis dalam tawaku. Ibu… ingin sekali aku mendekapmu, hangat. Sebagimana kau tak lekang mendekapku waktu aku masih kecil.. Ibu.. ingin sekali aku meciummu, manja. Sebagaimana kau tak luput menciumiku waktu aku lincah berlarian… *** Sesampainya aku pada taraf baligh, selalu ku abadikan moment paling berkesan dalam memoriku. Kala aku melapor, “Ayah, aku baru saja haidh.” Ayah hanya mengangguk. Tak begitu mengagetkan, karena memang aku terhitung lambat dibandingkan teman-teman seusiaku di sekolah. Hanya mengatur hal-hal yang sebelumnya belum kuketahui dibantu kakak perempuanku. Namun, seminggu setelahnya terparangah kulihat rumahku ramai, banyak saudara yang membantu ibuku memasak, dan… “nanti malam kau akan dibai’at, Nak. Ayah ingin setiap anak ayah mencapai usia baligh melewati tradisi ini.” Aku hanya mengangguk dan menurut dalam kebingungan. Kakak perempuanku dan ibu sudah siap mendandani aku seadanya, entah apa yang sebenarnya akan terjadi, bak patung penurut yang siap digerakan kesana kemari. Tangan hangat ibu menggandengku menuju ruangan itu, tempat dimana ayah mengajar ngaji para santri. Sudah banyak orang ternyata, para santri dan keluarga besar di sekitar rumahku turut menghadiri. Duduk dilingkari semua yang hadir, didepanku sudah tersimpan Al-Quran yang berhadapan dengan ayah. Tenyata, bak eksekusi, aku harus melafalkan kembali syahadat secara resmi disaksikan khalayak dan Al-Quran, serta sebagai tanda bahwa bimbingan ayah dan ibu slama ini akan mulai terlepas, aku sudah harus menanggung pahala dan dosa sendiri. Seselesainya aku melafalkan ulang syahadat dibimbing ayah,beliau bernasehat,”Nak… sampai di sini kita saling terikat dalam pahala dan dosa di hadapan Allah. Namun bukan berarti kami akan mebiarkanmu terombang-ambing mengikuti arus alam yang tidak semuanya baik, namun kini kami hanya sebagai pemantau dan pengarah. Sekarang, kau yang akan menanggung sendiri dampak dari amalanmu, kau yang akan menabung sendiri pahala dan menjauhi dosa yang telah kau ketahui.” Air mata itu bukan hanya tetesan, namun mengalir begitu deras membasahi wajah dan hatiku. Lampu yang temaram,suasana yang begitu mengharukan, semua yang menyaksikan larut dalam keharuan yang teramat dalam, terutama ibu dan ayahku. Semua orang merangkulku, menenangkan dan mendoakan. Ini belum seberapa ya Rabb, terlampau biasa dibandingkan dengan perjuanganku dalam usia yang semakin berkurang. *** Pagi yang ceria. Senyuman mentari terlihat dari pantulan cahaya dalam segar embun di atas dedaunan. Kulihat ibu baru selesai memasak sayur dan merapikan di lemari, aku terlambat bangun untuk membantunya karena kelelahan semalam tiba di rumah cukup larut malam. Seutas senyum menyambutku pagi itu, dari ibuku yang teramat kucinta. Kususuri rumah hingga ke halaman, keponakanku, Fathiya sedang berlarian mengejar ibunya dengan tawa renyah memecah udara. Ayah baru kembali dari kebun membawa dua ikat besar kangkung segar, langsung menyapa cucunya dengan hangat. Subhanallah.. kebahagiaan keluarga tiada bandingannya, aku sangat merindukan suasana seperti ini. Ibuku akan kembali bugar, mengerjakan rutinitasnya dengan baik ketika semua anak dan cucunya berkumpul, selalu seperti demikian. “Aku berangkat lagi ya, Bu. Jaga Kesehatan.” Pamitku karena harus kembali ke luar kota untuk sekolah. Dilanjut kakak perempuanku bersama suami dan anaknya, terlihat raut muka kecewa di wajah Ibu karena sedih ditinggalkan anak-anak kesayangannya. Dua hari kemudian… Kudapati lagi kabar, ibuku tak bisa beranjak dari tempat tidur, badannya sukar digerakkan, dan kembali terkulai lemah untuk beberapa waktu. Benar, beliau sangat membutuhkan keluarga tercinta untuk menopang semangatnya agar tetap sehat. Karena dengan semangat cintalah satu-satunya obat paling muanjur untuk membangkitkan ibu dari keterpurukan menghadang penyakitnya. Sampai kapanpun, sampai semua menemukan titiknya.

1 komentar: