Jumat, 20 Januari 2012

MENGINGAT KEMATIAN

Tadi, tepatnya masa-masa riuhnya mesjid dengan suara bocah sedang ngaji terbesit sesuatu yang buatku mikir, bahkan hingga meneteskan air mata kala takbiratul ihram.
MENGUNGKAP PENTINGNYA MENGINGAT KEMATIAN
Tema ini buatku terngiang-ngiang menoleh realita yang ada. Lihat, fase anak-anak dipakai dengan rajin dan menjadi suatu keharusan dari tata agama bahkan adat masyarakat. Pergi tiap beberapa saat sebelum berkumandang adzan maghrib menggenggam iqro dan kitab di tangan sesekali disisipi kejar-kejaran sebagai nuansa kekanakkan mereka. Dan, pengajian rutinan, mingguan, dua hari sekali, diikuti oleh para ibu dan para bapak (malam) untuk belajar juga dengan metode ceramah tetapi memiliki kesamaan judul, mengaji.
Sekarang, yuk deh lihat para insan yang dikatakan manusia fresh sebagai agent of change di setiap wilayah. Masa-masa remaja dan dewasa produktif. Jika saya tilik-memang seharusnya masa berkobarnya semangat-mengenai keaktifan, seolah mnyampingkan kebutuhan penting setiap manuasia yang terabaikan yakni ketenangan batin (spiritualitas), mayoritas. Keseuriusan memenuhi kebutuhan batin dimiliki makhluk yang masih segar dan baru menghirup alam dunia ini (anak-anak) dan beliau-beliau yang dikabarkan sedang menanti panggilan kembalinya. Nah loh?? Lalu, apa yang jadi faktor makhluk muda sulit menyadari itu semua??
Sampel. Di kampung saya dan sekitarnya, masa indah para remaja hang out ria dengan style menyerupai personil band indo ala melayu menarik dan mengeluarkan asap rokok dengan tenang sedang para Kolot khusyu’ beribadah di seberang tempat mereka bergerombol. Mesjid, hanya diisi bocah-bocah ricuh dan para bapak paruh baya yang batuk-batuk namun tetap memilki etos ibadah.
Mumpung masih muda. Mumpung kuat. Mumpung masa-masa hura-hura. Mumpung masih sendiri, belum ada bini yang ngomel-ngomel. Mumpung belum punya tuntutan banyak. Mumpung hidup! Itu yang harus dijadikan bekal kita berbuat, menabung amalan shaleh, merenungkan makna dari sebuah kehidupan untuk kebahagiaan hakiki.
Kita ni, pemuda/i yang diamanati berbagai aspek, di rumah, kampung halaman, atau bahkan suatu wadah yang lebih luas dan formal, berhati-hatilah, dan proporsional antara jiwa dan raga. Jika esok kita tidak bisa menyaksikan celoteh rekan-rekan kita lagi, tiada kasih sayang keluarga dan sahabat lagi, bisakah kita berteriak menembus langit untuk meminta kembali kepada Allah? It’s impossible, di dunia ini, kita hanya rekreasi. Ukirlah dengan tinta emas yang tetap berkilau meski sang pengukir sudah tak bisa menyaksikan.

17 Januari 2012. 22:13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar